Jika kita mengambil kitab kumpulan doa tertua, Kitab Mazmur, sebagai acuan maka kita akan melihat dua bentuk doa. Yang pertama adalah ratapan dan tangisan akan pertolongan, yang kedua adalah ucapan syukur dan pujian kepada Allah. Namun sesungguhnya tersembunyi pula bentuk doa yang ketiga, tanpa ungkapan atau permohonan tertentu. Sebagai contoh Mazmur 131 adalah bentuk keheningan dan kepercayaan, yang berbunyi, “Sesungguhnya aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku ... Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!.” Terkadang saat kita berdoa, kita berdiam diri. Persekutuan yang damai dengan Allah dapat terjalin walaupun tanpa kata-kata. “Aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku.”. Seperti anak yang terpuaskan batinnya berhenti menangis atau anak yang berdiam dalam pelukan ibunya, maka dalam kehadiran Tuhan “jiwaku tenang dalam diriku”. Bagaimana mungkin kita dapat menggapai keheningan batin? Kadang kala kita tampak diam, namun justru sebenarnya kita mengalami sebuah pergumulan dengan teman yang kita bayangkan atau dengan diri kita sendiri. Menenangkan jiwa memerlukan sebuah kesederhanaan, “Aku tidak menyibukkan diriku dengan hal-hal yang terlalu besar dan terlalu hebat untukku.”. Berdiam diri berarti menyadari bahwa kegelisahanku tak dapat berbuat banyak. | Mazmur Daud “jiwaku tenang dalam diriku”
| Berdiam diri berarti meninggalkan perkara yang tak dapat kucapai dan hal-hal yang diluar kemampuanku kepada Tuhan. Waktu berdiam diri, walaupun singkat, adalah seperti perhentian yang kudus, hari raya sabat dimana kita dapat beristirahat, waktu untuk beristirahat dari kekhawatiran. Kekacauan dalam pikiran kita dapat dibandingkan dengan badai yang menghantam perahu para rasul di danau Galilea ketika Yesus sedang terlelap tidur. Seperti mereka, kita dapat merasa tak berdaya, penuh dengan kegelisahan, dan tak dapat menenangkan diri kita sendiri. Tetapi Kristus dapat datang dan menolong kita. Setelah Ia menghardik angin dan danau, “maka terciptalah ketenangan”, Ia juga dapat menenangkan hati kita ketika diganggu oleh ketakutan dan kekhawatiran (Markus 4). Dalam keheningan kita percaya dan berharap kepada Tuhan. Sebuah mazmur menyarankan keheningan sebagai bentuk dari ibadah pujian. Kita sering membaca bagian awal dari Mazmur 65 yang berbunyi, “Bagi-Mulah pujian-pujian.”. Ayat ini mengacu pada terjemahan dari bahasa Yunani, namun sebenarnya jika mengacu pada bahasa aslinya, bahasa Ibrani, yang dicetak oleh kebanyakan Alkitab berbunyi, “Keheningan adalah pujian bagi-Mu, ya Tuhan.”. Ketika kata-kata dan pikiran tak terlanjutkan lagi, Tuhan dimuliakan di dalam ketakjuban dan kekaguman. |
Kamis, Desember 29, 2011
Renungkan………
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar